• Assalamu'alaikum Wr. Wb.

    Selamat Datang di Blog SITE SMP Islam Watulimo, Semoga membawa Kemanfaatan Untuk Kita Semuanya ...

  • Hari Santri Nasional 2018

    Team Paduan Suara Gabungan Dewan Ambalan SMA Islam Watulimo dengan Dewan Penggalang SMP Islam Watulimo pada Peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2018...

  • Hari Santri Nasional 2018

    Group Sholawat dari Polres Trenggalek dalam Acara Peringatan Hari Santri Nasional di MWC NU Watulimo Tahun 2018...

  • Lomba Jelajah Santri 2018

    Lomba Jelajah Santri Satuan Komunitas Pramuka Ma'arif NU Tingkat Jawa Timur Tahun 2018 di Bumi Perkemahan Serut Kabupaten Blitar.

  • Bersama Masyayikh

    Bersama Masyayikh pada Kegiatan Pawai Ta'aruf dalam Rangka Hari Santri Nasional Tahun 2018 di Guwo Lowo.


Kamis, 31 Januari 2019

Sejarah Singkat Nahdlatul Ulama

Tak semua orang Indonesia tahu apa itu Nahdlatul Ulama (NU). Ini tulisan singkat sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Hari lahir NU diperingati dua kali: 16 Rajab dan 31 Januari. Pertama berdasar kalender Hijriyah, kedua berdasar Masehi.
Hari ini, 16 Rajab 1438 Hijriyah, adalah hari lahir organisasi Islam terbesar di Indonesia—dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU). Tepat 94 tahun yang lalu dalam kelender hijriyah, dimotori duo KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya, menyepakati perkumpulan yang sebenarnya sudah memiliki embrio jauh sebelum itu.
Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kiai yang kelak mendirikan NU telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya (1914) juga mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Nahdlatul Ulama tak lain adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya tersebut, namun dengan cakupan yang lebih luas.
Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat masih miskin dan bodoh, karena sumber daya ekonomi dikuasai Belanda dan sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi yang direncanakan dan didesain untuk menjadi ambtenaar Belanda. Di desa-desa, rakyat jelata berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.
Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang didapat, kiai-kiai, kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren untuk mendidik orang-orang desa dari buta aksara dan tuna pengetahuan. Sebagian besar yang diajarkan nilai-nilai agama, namun pada kenyataannya mereka yang nyantri belajar lebih dari itu. Dengan adanya pesantren, banyak warga desa yang sebelumnya tidak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis, namun dalam bentuk Arab pegon. Tapi dari situlah transformasi pengetahuan, wawasan dan literasi terjadi.
Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak. Namun berbeda dengan kalangan pembaharu puritan yang mendorong pemurnian Islam dari tradisi-tradisi lokal yang dianggap bid’ah, kiai-kiai pesantren menerima dan mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi Jawa tidak merasa tercerabut dari akarnya ketika memeluk dan mempraktekkan ajaran Islam.
Namun tekanan kaum puritan yang mengatasnamakan kembali kepada Qur’an dan Hadist membuat banyak kiai merasa tidak nyaman. Tekanan terbesar terhadap kelompok pesantren terjadi ketika terjadi perubahan di Timur Tengah, yang mana Abdul Aziz bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud menguasai Mekah-Madinah. Ibnu Saud yang berpandangan Wahabi hendak menerapkan azas tunggal Wahabi dan memberangus madzhab-madzhab lain di dua tempat suci orang Islam tersebut dan ingin menghancurkan situs-situs peninggalan Nabi yang dianggap bisa menyeret pada kemusyrikan.
Para kiai pesantren yang sebagian pernah belajar di Mekah-Madinah pun saling berkomunikasi dan membahas persoalan tersebut. Setelah lewat proses komunikasi yang panjang, KH Wahab Chasbullah beserta KH Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di Surabaya, di kediaman Kiai Wahab. Di situ disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz melahirkan sejumlah tuntutan, diantaranya:

1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberikan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.
2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk makam puteri-puteri Nabi.
3. Meminta agar biaya yang dikenakan kepada jemaah haji diumumkan ke publik dunia.

Namun untuk bisa mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh payung organisasi. Maka dari itulah, diikuti kesadaran tentang pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim Asy’ari di Mukadimah Qanun Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama. Meski pembahasan tentang keberatan terkait kebijakan Ibnu Saud sudah dibahas saat pendirian NU pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, namun karena berbagai kendala delegasi ke Arab Saudi yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah serta Syaikh Ahmad Ghonaim Al-Mishri baru bisa berangkat 7 Mei 1928 atau 5 Syawal 1346 Hijriyah, dua setengah tahun setelah NU berdiri.
Komite Hijaz boleh dikata adalah produk politik pertama Nahdlatul Ulama, yang menunjukkan semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermadzhab dalam Islam. Dalam sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinekaan yang ada, NU menerima Pancasila dan tak menuntut syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru negara-bangsa Indonesia.
Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain karena dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga karena NU memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tathorruf).
Di NU, perdebatan dan perbedaan menjadi sesuatu yang biasa dan diterima, tak jarang dengan canda-tawa. Di forum-forum rapat atau bahtsul-masail NU, kiai-kiai bisa berdebat dengan sengit tapi ketika situasi sudah sangat panas maka ada saja yang melempar joke/guyonan yang membuat jamaah forum tertawa bersama.
NU memang unik. Hari lahir NU juga terbilang unik. Karena tiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, 16 Rajab serta 31 Januari. Peringatan pertama berdasar kalender hijriyah, peringatan kedua berdasar masehi. Berdasar dua penanggalan berbeda itu, umur NU jadinya juga berbeda. Jika berdasar hijriyah umur NU sudah 94 tahun, sedang jika menurut perhitungan masehi umur NU baru 91 tahun.

Sumber : MI Dukuh Online

Selasa, 01 Januari 2019

Sejarah Trenggalek

Dari berbagai sumber yang dapat dikumpulkan, kawasan Trenggalek telah dihuni selama ribuan tahun, sejak jaman pra-sejarah, dibuktikan dengan ditemukannya artifak jaman batu besar seperti : Menhir, Mortar, Batu Saji, Batu Dakon, Palinggih Batu, Lumpang Batu dan lain-lain yang tersebar di daerah-daerah yang terpisah.

Berdasarkan data tersebut, diketahui jejak nenek moyang yang tersebar dari Pacitan menuju ke Wajak Tulungagung dengan jalur-jalur sebagai berikut :
  1. Dari Pacitan menuju Wajak melalui Panggul, Dongko, Pule, Karangan dan menyusuri sungai Ngasinan menuju Wajak Tulungagung;
  2. Dari Pacitan menuju Wajak melalui Ngerdani, Kampak, Gandusari dan menuju Wajak Tulungagung;
  3. Dari Pacitan menuju Wajak dengan menyusuri Pantai Selatan Panggul, Munjungan, Prigi dan akhirnya menuju ke Wajak Tulungagung.
Menurut HR VAN KEERKEREN, Homo Wajakensis (manusia purba wajak) (mencari-jejak-manusia-wajak.html) hidup pada masa plestosinatas, sedangkan peninggalan-peninggalan manusia purba Pacitan berkisar antara 8.000 hingga 23.000 tahun yang lalu. Sehingga, disimpulkan bahwa pada jaman itulah Kabupaten Trenggalek dihuni oleh manusia.  
Walaupun banyak ditemukan peninggalan manusia purba, untuk menentukan kapan Kabupaten Trenggalek terbentuk belum cukup kuat karena artifak-artifak tersebut tidak ditemukan tulisan. Baru setelah ditemukannya prasasti Kamsyaka atau tahun 929 M, dapat diketahui bahwa Trenggalek pada masa itu sudah memiliki daerah-daerah yang mendapat hak otonomi / swatantra, diantaranya Perdikan Kampak berbatasan dengan Samudra Indonesia di sebelah Selatan yang pada waktu itu wilayahnya meliputi Panggul, Munjungan dan Prigi. Disamping itu, disinggung pula daerah Dawuhan dimana saat ini daerah Dawuhan tersebut juga termasuk wilayah Kabupaten Trenggalek. Pada jaman itu tulisan juga sudah mulai dikenal.
Setelah ditemukannya Prasasti Kamulan yang dibuat oleh Raja Sri Sarweswara Triwi-kramataranindita Srengga Lancana Dikwijayatunggadewa atau lebih dikenal dengan sebutan Kertajaya (Raja Kediri) yang juga bertuliskan hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatannya, maka Panitia Penggali Sejarah menyimpulkan bahwa hari, tanggal, bulan dan tahun pada prasasti tersebut adalah Hari Jadi Kabupaten Trenggalek.

Sejarah Singkat Pemerintahan :

Seperti halnya daerah-daerah lain, di jaman itu Kabupaten Trenggalek juga pernah mengalami perubahan wilayah kerja. Beberapa catatan tentang perubahan tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Dengan adanya Perjanjian Gianti tahun 1755, Kerajaan Mataram terpecah menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Wilayah Kabupaten Trenggalek seperti didalam bentuknya yang sekarang ini, kecuali Panggul dan Munjungan, masuk ke dalam wilayah kekuasaan Bupati Ponorogo yang berada di bawah kekuasaan Kasunanan surakarta. Sedangkan Panggul dan Munjungan masuk wilayah kekuasaan Bupati Pacitan yang berada di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta.
  2. Pada tahun 1812, dengan berkuasanya Inggris di Pulau Jawa (Periode Raffles 1812-1816) Pacitan (termasuk didalamnya Panggul dan Munjungan) berada di bawah kekuasaan Inggris dan pada tahun 1916 dengan berkuasanya lagi Belanda di Pulau Jawa, Pacitan diserahkan oleh Inggris kepada Belanda termasuk juga Panggul dan Munjungan.
  3. Pada tahun 1830 setelah selesainya perang Diponegoro, wilayah Kabupaten Trenggalek, tidak termasuk Panggul dan Munjungan, yang semula berada dalam wilayah kekuasaan Bupati ponorogo dan Kasunanan Surakarta masuk di bawah kekuasaan Belanda. Dan, pada jaman itulah Kabupaten Trenggalek termasuk Panggul dan Munjungan memperoleh bentuknya yang nyata sebagai wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten versi Pemerintah Hindia Belanda sampai disaat dihapuskannya pada tahun 1923.Alasan atau pertimbangan dihapuskannya Kabupaten Trenggalek dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu secara pasti tidak dapat diketahui. Namun diperkirakan mungkin secara ekonomi Trenggalek tidak menguntungkan bagi kepentingan pemerintah kolonial Belanda.Wilayahnya dipecah menjadi dua bagian, yakni wilayah kerja Pembantu Bupati di Panggul masuk Kabupaten Pacitan dan selebihnya wilayah pembantu Bupati Trenggalek, sedangkan Karangan dan Kampak masuk wilayah Kabupaten Tulungagung sampai dengan pertengahan tahun 1950.
  4. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950, Trenggalek menemukan bentuknya kembali sebagai suatu daerah Kabupaten di dalam Tata Administrasi Pemerintah Republik Indonesia. Saat yang bersejarah itu tepatnya jatuh pada seorang Pimpinan Pemerintahan (acting Bupati) dan seterusnya berlangsung hingga sekarang.Seorang Bupati pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang terkenal sangat berwibawa dan arif bijaksana adalah MANGOEN NEGORO II yang terkenal dengan sebutan KANJENG JIMAT yang makamnya terletak di Desa Ngulankulon Kecamatan Pogalan. Dan untuk menghormati Beliau, nama "KANJENG JIMAT" diabadikan sebagai salah satu jalan di Kabupaten Trenggalek.

Sekilas Trenggalek
Kabupaten  Trenggalek  dengan  luas  wilayah  126.140  Ha,  dimana  2/3  bagian luasnya  merupakan  tanah pegunungan,  terbagi  menjadi  14  Kecamatan  dan  157  Desa. Sedangkan luas laut 4 mil dari daratan adalah 711,17   km. Jumlah penduduk tahun 2014    sebanyak 818.797 jiwa  terdiri  dari 50,34 % laki-laki dan 49.66 % wanita, dengan kepadatan penduduk 649jiwa/km2.

Jumlah  rumah  sakit  4,  puskesmas  22,  puskesmas  pembantu  66,  dan  jumlah tenaga medis diantaranya dokter umum 99,  spesialis 28,  D -III  perawat 475,  D -III  bidan 216, serta apoteker 69   orang. Dari sisi pendidikan tercatat jumlah fasilitas pendidikan SD, SLTP, SLTA masing–masing sejumlah 442,78, dan 45 buah. 

Pada kegiatan Industri Pengolahan tercatat jumlah perusahaan sebanyak 23.963 buah dengan nilai investasi 85,865 milyar rupiah dan nilai produksi sebesar 1.617,209 milyar rupiah. Sedangkan jumlah desa yang teraliri listrik sebanyak 157 desa atau sudah  menjangkau seluruh desa yang ada dengan pelanggan sebanyak 167.892 pelanggan.  

Luas areal sawah sebesar 12.160 Ha, tanah kering 39.514 Ha, dan perkebunan 2.536 Ha,  menghasilkan  padi sawah &  ladang  sebesar 339.218 ton  padi, 76.294 ton jagung, 425.617 ton ubi kayu serta komoditi pertanian lainnya. Disamping itu Kabupaten Trenggalek  yang berbatasan dengan  laut  mempunyai 3.549 rumahtangga nelayan,  dan selama tahun 2014 menghasilkan ikan sebanyak 18.183 ton.   

Kabupaten  Trenggalek  mempunyai  banyak  obyek  wisata,  5  diantaranya  sudah diberdayakan  dengan  jumlah pengunjung  selama  tahun 2014  tercatat 531.478 orang. Sedangkan  dari  segi  prasarana  jalan  tercatat panjang  jalan  seluruhnya 1.045,02 Km dimana 949,95 Km merupakan jalan Kabupaten, dimana 62,84 % kondisinya baik, 26,37 % kondisi sedang, 7,72 % rusak ringan dan 3,06   % rusak berat. 

Kabupaten  Trenggalek  dalam  era  otonomi  daerah  mempunyai  penerimaan daerah sebesar 1.498.350 (juta rupiah) dan pengeluaran daerah sebesar 1.372.622 (juta rupiah). 

Pelaksanaan pembangunan ini telah membuahkan hasil yang menggembirakan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2014 tercatat 5,41% dimana sektor pertanian masih  mendominasi  dalam  pembentukan  PDRB  yaitu  sebesar 31,21%,  disusul  sektor perdagangan Besar dan Eceran 15,2  3 %,   sektor Industri Pengolahan 14,00 %,sedangkan sektor lainnya kurang dari 10 persen.