Kamis, 31 Januari 2019

Sejarah Singkat Nahdlatul Ulama

Tak semua orang Indonesia tahu apa itu Nahdlatul Ulama (NU). Ini tulisan singkat sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Hari lahir NU diperingati dua kali: 16 Rajab dan 31 Januari. Pertama berdasar kalender Hijriyah, kedua berdasar Masehi.
Hari ini, 16 Rajab 1438 Hijriyah, adalah hari lahir organisasi Islam terbesar di Indonesia—dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU). Tepat 94 tahun yang lalu dalam kelender hijriyah, dimotori duo KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya, menyepakati perkumpulan yang sebenarnya sudah memiliki embrio jauh sebelum itu.
Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kiai yang kelak mendirikan NU telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya (1914) juga mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Nahdlatul Ulama tak lain adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya tersebut, namun dengan cakupan yang lebih luas.
Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat masih miskin dan bodoh, karena sumber daya ekonomi dikuasai Belanda dan sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi yang direncanakan dan didesain untuk menjadi ambtenaar Belanda. Di desa-desa, rakyat jelata berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.
Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang didapat, kiai-kiai, kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren untuk mendidik orang-orang desa dari buta aksara dan tuna pengetahuan. Sebagian besar yang diajarkan nilai-nilai agama, namun pada kenyataannya mereka yang nyantri belajar lebih dari itu. Dengan adanya pesantren, banyak warga desa yang sebelumnya tidak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis, namun dalam bentuk Arab pegon. Tapi dari situlah transformasi pengetahuan, wawasan dan literasi terjadi.
Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak. Namun berbeda dengan kalangan pembaharu puritan yang mendorong pemurnian Islam dari tradisi-tradisi lokal yang dianggap bid’ah, kiai-kiai pesantren menerima dan mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi Jawa tidak merasa tercerabut dari akarnya ketika memeluk dan mempraktekkan ajaran Islam.
Namun tekanan kaum puritan yang mengatasnamakan kembali kepada Qur’an dan Hadist membuat banyak kiai merasa tidak nyaman. Tekanan terbesar terhadap kelompok pesantren terjadi ketika terjadi perubahan di Timur Tengah, yang mana Abdul Aziz bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud menguasai Mekah-Madinah. Ibnu Saud yang berpandangan Wahabi hendak menerapkan azas tunggal Wahabi dan memberangus madzhab-madzhab lain di dua tempat suci orang Islam tersebut dan ingin menghancurkan situs-situs peninggalan Nabi yang dianggap bisa menyeret pada kemusyrikan.
Para kiai pesantren yang sebagian pernah belajar di Mekah-Madinah pun saling berkomunikasi dan membahas persoalan tersebut. Setelah lewat proses komunikasi yang panjang, KH Wahab Chasbullah beserta KH Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di Surabaya, di kediaman Kiai Wahab. Di situ disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz melahirkan sejumlah tuntutan, diantaranya:

1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberikan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.
2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk makam puteri-puteri Nabi.
3. Meminta agar biaya yang dikenakan kepada jemaah haji diumumkan ke publik dunia.

Namun untuk bisa mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh payung organisasi. Maka dari itulah, diikuti kesadaran tentang pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim Asy’ari di Mukadimah Qanun Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama. Meski pembahasan tentang keberatan terkait kebijakan Ibnu Saud sudah dibahas saat pendirian NU pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, namun karena berbagai kendala delegasi ke Arab Saudi yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah serta Syaikh Ahmad Ghonaim Al-Mishri baru bisa berangkat 7 Mei 1928 atau 5 Syawal 1346 Hijriyah, dua setengah tahun setelah NU berdiri.
Komite Hijaz boleh dikata adalah produk politik pertama Nahdlatul Ulama, yang menunjukkan semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermadzhab dalam Islam. Dalam sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”
NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinekaan yang ada, NU menerima Pancasila dan tak menuntut syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru negara-bangsa Indonesia.
Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain karena dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga karena NU memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tathorruf).
Di NU, perdebatan dan perbedaan menjadi sesuatu yang biasa dan diterima, tak jarang dengan canda-tawa. Di forum-forum rapat atau bahtsul-masail NU, kiai-kiai bisa berdebat dengan sengit tapi ketika situasi sudah sangat panas maka ada saja yang melempar joke/guyonan yang membuat jamaah forum tertawa bersama.
NU memang unik. Hari lahir NU juga terbilang unik. Karena tiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, 16 Rajab serta 31 Januari. Peringatan pertama berdasar kalender hijriyah, peringatan kedua berdasar masehi. Berdasar dua penanggalan berbeda itu, umur NU jadinya juga berbeda. Jika berdasar hijriyah umur NU sudah 94 tahun, sedang jika menurut perhitungan masehi umur NU baru 91 tahun.

Sumber : MI Dukuh Online